Tren kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) berkembang sangat pesat dalam beberapa tahun terakhir. Investasi besar, ekspektasi tinggi, dan klaim teknologi revolusioner bermunculan hampir di setiap sektor. Di tengah euforia tersebut, istilah “AI Bubble” mulai ramai dibicarakan. AI Bubble menggambarkan kondisi ketika arus dana dan valuasi perusahaan AI melesat jauh lebih cepat dibanding manfaat nyata dan kemampuan monetisasinya.
Jika kondisi ini terus berlangsung tanpa hasil konkret, gelembung ekonomi tersebut berpotensi pecah dan memicu koreksi besar di industri teknologi. Kekhawatiran inilah yang kini menjadi perhatian banyak pelaku industri, termasuk operator telekomunikasi besar seperti Telkomsel.
Telkomsel Nilai AI Bubble sebagai Siklus Teknologi
Direktur Utama Telkomsel, Nugroho, menilai potensi AI Bubble sebagai bagian wajar dari siklus perkembangan teknologi. Ia membandingkan situasi saat ini dengan berbagai fase sebelumnya, seperti internet bubble, startup bubble, hingga 3G bubble. Menurutnya, setiap teknologi besar hampir selalu melewati fase euforia sebelum akhirnya mencapai titik keseimbangan.
Nugroho menjelaskan bahwa risiko bubble biasanya muncul ketika investasi tidak sejalan dengan potensi monetisasi. Jika perusahaan hanya mengejar tren tanpa strategi yang jelas, maka dampaknya bisa merugikan dalam jangka panjang. Karena itu, ia menekankan pentingnya rasionalitas dalam mengambil keputusan investasi AI.
Pendekatan Hati-hati Jadi Kunci Strategi
Dalam menghadapi tren AI yang terus menguat, Telkomsel memilih langkah yang lebih terukur. Perusahaan tidak ingin terjebak dalam fenomena fear of missing out (FOMO) yang mendorong investasi besar tanpa perhitungan matang. Nugroho menegaskan bahwa keseimbangan antara investasi dan manfaat bisnis menjadi faktor utama dalam setiap keputusan.
Telkomsel juga menghindari investasi besar-besaran pada infrastruktur AI di tahap awal. Menurut Nugroho, perkembangan teknologi AI bergerak sangat cepat, sehingga perangkat keras mahal bisa kehilangan relevansi dalam waktu singkat. Kondisi ini berisiko membuat pengembalian investasi sulit tercapai.
Kolaborasi dan Use Case Nyata Jadi Prioritas
Sebagai alternatif, Telkomsel memilih pendekatan kolaboratif. Perusahaan memanfaatkan komputasi awan, bekerja sama dengan mitra teknologi, serta menerapkan AI berdasarkan kebutuhan nyata atau use case driven. Strategi ini memungkinkan Telkomsel tetap berinovasi tanpa menanggung beban investasi berlebihan.
Dengan pendekatan tersebut, Telkomsel dapat menguji efektivitas AI secara langsung dalam operasional dan layanan pelanggan. Jika sebuah solusi terbukti memberikan nilai tambah, barulah perusahaan mempertimbangkan pengembangan lebih lanjut.
AI Tetap Penting, Tapi Harus Rasional
Meski waspada terhadap risiko AI Bubble, Telkomsel menegaskan bahwa AI bukan teknologi yang bisa dihindari. Tantangan utama bukan soal memilih menggunakan AI atau tidak, melainkan bagaimana mengadopsinya secara matang dan berkelanjutan. Nugroho menilai AI akan tetap menjadi pilar penting dalam transformasi digital industri telekomunikasi.
Ia juga melihat adopsi AI di Indonesia saat ini berjalan lebih terukur dibanding era teknologi sebelumnya. Pengalaman pahit saat fase startup bubble membuat pelaku industri kini lebih berhati-hati dan realistis dalam menilai potensi teknologi baru.
Menuju Adopsi AI yang Berkelanjutan
Dengan pendekatan cermat dan berbasis kebutuhan, Telkomsel berupaya memanfaatkan AI secara optimal tanpa terjebak euforia sesaat. Strategi ini diharapkan mampu menjaga stabilitas bisnis sekaligus memastikan bahwa AI benar-benar memberikan nilai nyata bagi perusahaan dan pelanggan. Baca berita lain disini.


