Saat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menyampaikan optimisme pertumbuhan ekonomi Indonesia 2026 bisa melampaui 5,26 persen, kondisi berbeda justru dirasakan industri seluler. Para operator menghadapi tekanan berat akibat meningkatnya biaya pemerintah atau regulatory cost yang berpotensi menggerus pendapatan dan melemahkan ekspansi layanan, terutama untuk teknologi 5G.
Seorang petinggi operator bahkan mengungkapkan kekhawatiran bahwa rencana pelepasan spektrum 5G oleh Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) bisa membuat operator “knocked out”. Padahal, industri seluler telah menjadi tulang punggung ekonomi digital nasional dengan pendapatan sekitar Rp205 triliun sepanjang 2024 dan peran vital bagi sektor lain, termasuk perbankan dan layanan publik.
Bisnis Besar yang Jadi Rebutan Banyak Pihak
Besarnya nilai ekonomi industri seluler membuat banyak pihak ingin ikut menikmati manfaatnya. Tidak hanya penjual pulsa dan penyedia infrastruktur, tetapi juga berbagai lembaga pemerintah dari tingkat pusat hingga desa merasa memiliki hak untuk menarik pungutan. Akibatnya, beban biaya yang harus ditanggung operator terus meningkat dari tahun ke tahun.
Teknologi 5G sendiri membutuhkan spektrum frekuensi yang sangat lebar, bahkan di atas 1.000 MHz. Saat ini, tiga operator nasional hanya menguasai sekitar 442 MHz di berbagai pita frekuensi. Biaya pengadaan spektrum tergolong mahal. Contohnya, lelang frekuensi 2300 MHz pada 2017 membuat Telkomsel harus membayar hingga Rp3,021 triliun dalam satu kali kemenangan, termasuk upfront fee.
Beban BHP dan USO Kian Memberatkan
Selain biaya lelang, operator juga menanggung beban tahunan berupa BHP frekuensi, BHP telekomunikasi, dan kewajiban Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,25 persen dari pendapatan kotor. Nilai BHP USO kini menembus lebih dari Rp3 triliun per tahun dan dikelola oleh Bakti untuk pembangunan infrastruktur di wilayah 3T.
Operator menilai pengelolaan USO akan lebih efisien jika mereka lakukan sendiri. Tanpa beban lelang pun, berbagai pungutan ini sudah cukup memberatkan. Data menunjukkan rasio BHP terhadap pendapatan operator naik dari 6,71 persen pada 2013 menjadi 11,40 persen pada 2022. Angka tersebut kembali melonjak menjadi 13,15 persen pada 2024.
Ancaman terhadap Keberlanjutan Usaha
Benchmark internasional menyebutkan rasio BHP ideal berada di angka 5 persen, sementara 5–10 persen masih tergolong aman. Di atas 10 persen, keberlanjutan usaha mulai terancam. Saat ini, Telkomsel menanggung sekitar 9 persen, sedangkan dua operator lain harus menanggung hingga 14–15 persen.
Beban tersebut hanya sebagian dari setoran PNBP yang terus meningkat. Pada 2023, Komdigi mencatat PNBP sebesar Rp24 triliun, lalu naik menjadi Rp25,58 triliun pada 2024. Tahun 2026, pendapatan negara diperkirakan melonjak lagi dari lelang spektrum 700 MHz dan 2600 MHz.
Pungutan Daerah dan Masalah Regulasi
Tekanan tidak berhenti di pusat. Operator juga menghadapi pungutan dari kementerian lain, pemerintah daerah, hingga desa. Izin penggelaran kabel laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, misalnya, memerlukan proses panjang tanpa kepastian waktu. Di daerah, aturan sering tidak seragam dan bahkan bertentangan dengan regulasi di atasnya.
Kasus pembongkaran belasan menara BTS di Badung, Bali, menjadi contoh nyata dampak kebijakan daerah yang tidak sinkron. Jika kondisi ini terus berlanjut, ekspansi jaringan 5G berisiko terhambat dan industri seluler nasional bisa kehilangan momentum pertumbuhan. Baca berita lain disini.


